31/12/2020

BERLATIH MENGELOLA RAPAT DENGAN ROLE PLAYING

Oleh: Ikasari Padminingsih, S.Pd., M.Pd.

(Guru Produktif OTKP SMK Negeri 3 Surakarta - Jawa Tengah)

Kegiatan pembelajaran di sekolah tidak hanya sebatas pengetahuan untuk dihafalkan dan dinilai, namun siswa juga dapat secara aktif mencari dan mempelajari pengetahuan dari sumber-sumber baru. Jenis pembelajaran yang saat ini dinilai aktif salah satunya adalah melalui belajar aktif atau active learning. Pembelajaran di kelas menjadi kurang optimal apabila hasil belajar siswa dalam kelas masih rendah. Siswa yang kurang aktif akan mengalami kondisi mengantuk, ramai, malas, bersenda gurau sendiri dan tidak memperhatikan penyampaian materi. Variasi dalam pemilihan metode pembelajaran yang tepat menentukan keberhasilan belajar siswa serta menjadi tolak ukur keberhasilan guru dalam proses pembelajaran. 

Salah satu variasi pembelajaran yang dapat dilakukan adalah pemberian variasi pada penyampaian materi pada kegiatan pembelajaran melalui suatu model pembelajaran. Model pembelajaran yang sesuai adalah yang mampu mengajak siswa menjadi aktif dan mampu menghadapi suatu bentuk permasalahan. Input dari siswa yang diproses dengan menggunakan model pembelajaran yang kurang tepat akan menyebabkan siswa kurang aktif dan berdampak pada hasil belajar siswa. Penggunaan variasi model yang tepat dalam proses pembelajaran diharapkan dapat menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu meningkatkan hasil belajar siswa.

Kegiatan pembelajaran Otomatisasi Tata Kelola Humas dan Keprotokolan di program keahlian OTKP SMK Negeri 3 Surakarta masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Metode pembelajaran yang selalu sama pada setiap pokok materi menjadikan siswa bersikap pasif. Sikap pasif lainnya adalah siswa tidak membuka buku pelajaran selama proses pembelajaran berlangsung dan malas-malasan mengikutinya. Siswa tidak bertanya pada guru ketika diberi kesempatan namun tidak mampu menjawab ketika diberi pertanyaan pada akhir pembelajaran. Selain itu, sikap siswa ketika mengikuti kegiatan pembelajaran pun turut berpengaruh. Sebagian siswa memandang remeh pelajaran Otomatisasi Tata Kelola Humas dan Keprotokolan karena di kesehariannya mereka menggunakannya untuk berkomunikasi dan. Akibatnya hasil belajar yang diraih siswa pun menjadi rendah, karena pemahaman mereka pada materi kurang. Salah satu solusi yang dapat ditempuh guru untuk meningkatkan kualitas dan hasil belajar siswa adalah dengan menerapkan suatu strategi pembelajaran aktif atau disebut juga active learning yang salah satunya adalah model Role Playing.

Model pembelajaran Role Playing merupakan suatu model pembelajaran yang diperkenalkan oleh pasangan Fannie dan George Shaftel pada tahun 1967, Joyce (2009) berpendapat bahwa ”Model pembelajaran Role Playing merupakan suatu model yang bertujuan menggali kemampuan siswa untuk berinteraksi dengan cara memerankan suatu topik atau permasalahan”. Role Playing memiliki dimensi pendidikan personal dan sosial sehingga dapat memotivasi siswa menemukan pengetahuan dan menyelesaikan suatu bentuk permasalahan dalam suatu bentuk kerjasama sosial.

Prawiladilaga (2007) berpendapat ”Permainan peran atau Role Playing Game (RPG) merupakan suatu kegiatan memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama”. Peserta dapat memilih aksi tokoh-tokoh mereka berdasarkan karakteristik tokoh tersebut dan keberhasilan aksi mereka tergantung dari sistem peraturan permainan yang telah ditentukan. Pemain dapat berimprovisasi membentuk arah dan hasil akhir permainan ini selama hal tersebut mengikuti peraturan yang telah ditetapkan.

Brady (1985) menjelaskan bahwa “Role playing, sociodramatic explorations, creative drama, improvisationally-oriented theatre games, and other approaches which cultivate spontaneity together form a rich complex of methods for  generating  the  kinds  of  skills which are part of the postmodern  sensibility”. Role Playing merupakan suatu aktivitas pembelajaran yang terencana dan terancang untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Model pembelajaran tersebut didasarkan pada tiga aspek utama dari pengalaman peran kehidupan sehari-hari, yaitu mengambil peran (role taking), membuat peran (role making), dan tawar menawar peran (role negotiation). Model Role Playing dapat dipandang sebagai suatu cara yang sesuai pada banyak materi dimana terdapat peran-peran yang dapat didefinisikan dengan jelas dan memiliki interaksi yang mungkin dieksplorasi dalam keadaan yang bersifat simulasi atau skenario. Hasil dari interaksi membuat peran dengan skenario adalah menjadikan siswa secara individu, berpasangan, maupun berkelompok mampu belajar sesuatu tentang seseorang, problem, maupun situasi yang spesifik dari materi pembelajaran. 

Model pembelajaran Role Playing memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan”. Keunggulan dari model Role Playing ini adalah sebagai berikut:

  1. Peran yang ditampilkan peserta didik dengan menarik akan segera mendapat perhatian peserta didik lainnya.
  2. Teknik ini dapat digunakan baik dalam kelompok besar maupun kelompok kecil.
  3. Membantu peserta didik memahami pengalaman orang lain yang melakukan peran.
  4. Membantu peserta didik untuk menganalisis dan memahami pengalaman orang lain yang melakukan peran.
  5. Menumbuhkan rasa kemampuan dan kepercayaan diri peserta  didik untuk  berperan dalam menghadapi masalah.

Sedangkan kelemahan dari model pembelajaran Role Playing ini adalah sebagai berikut:

  1. Kemungkinan adanya peserta didik yang tidak menyenangi memainkan peran tertentu.
  2. Lebih menekankan terhadap masalah daripada terhadap peran.
  3. Kemungkinan terjadi kesulitan dalam penyesuaian diri terhadap peran yang harus dilakukan.
  4. Memerlukan waktu relatif lama untuk memerankan sesuatu dalam kegiatan belajar tersebut.
  5. Bermain peran terbatas pada beberapa situasi kegiatan belajar.

Pelaksanaan Role Playing dibagi menjadi tiga fase utama, antara lain adalah perencanaan dan persiapan, interaksi, serta refleksi dan evaluasi. Perencanaan yang matang merupakan kunci sukses dalam pelaksanaan Role Playing. Perencanaan model Role Playing berkenaan dengan sejauh mana guru mengenal siswa karena semakin guru mampu mengenali siswa maka proses pembelajaran akan lebih mudah dilaksanakan. Tujuan merupakan hal yang harus dipertimbangkan untuk mengetahui hasil apa yang ingin diperoleh guru dari proses pembelajaran dengan model Role Playing. Skenario pembelajaran dapat secara aktif disusun bersama-sama oleh dan siswa untuk meningkatkan keterampilan dan rasa tanggung jawab siswa dalam proses pembelajaran. Penempatan peran menentukan posisi yang tepat dimana penempatan dapat dilakukan secara acak ataupun sesuai dengan kemampuan siswa. Hambatan yang bersifat fisik perlu dipertimbangkan dalam perencanaan karena menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sarana seperti dalam hal luas ruang kegiatan. Waktu dalam perencanaan merupakan hal yang penting agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan rencana pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, sintaks pembelajaran Otomatisasi Tata Kelola Humas dan Keprotokolan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Guru menyampaikan materi tentang mengelola rapat.
  2. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan anggota 5 - 6 orang secara heterogen dengan memperhatikan kemampuan masing-masing individu untuk keseimbangan kinerja antar kelompok.
  3. Siswa yang memiliki kemampuan lebih diangkat menjadi ketua yang bertugas sebagai nara hubung dengan guru.
  4. Siswa berdiskusi untuk mendapatkan klarifikasi tentang tentang penyelenggaraan rapat 
  5. Siswa dan  kelompoknya melakukan praktik saling bertukar peran dengan teman dalam kelompoknya (sebagai ketua, moderator, sekretaris atau anggota rapat) untuk mencari jawaban tugas dari guru tentang penyelenggaraan  rapat.
  6. Siswa dan kelompoknya mempresentasikan hasil diskusi kelompok ke depan kelas untuk ditanggapi kelompok yang lain.
  7. Guru bersama-sama dengan siswa membuat rangkuman/simpulan pelajaran .
  8. Guru melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara individu .

Dengan penerapan model pembelajaran ini diharapkan siswa akan memperoleh pengetahuan dan memahami materi dengan cara bermain peran dengan teman dalam kelompoknya. Dengan melakukan hal tersebut diharapkan akan memperkaya pengetahuan siswa dan memperdalam pemahaman pada materi mengelola rapat dengan cara yang menyenangkan hati mereka.


REFERENSI

  • Arends, R. I. 2012. Learning to Teach Ninth edition. New York: The Mc. Graw Hill Companies, Inc.
  • Brady, L. 1985. Models and Methods of Teaching. Sidney: Prentice-Hall of Australia.
  • Joyce, Bruce, dkk. 2009. Models of Teaching. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Prawiradilaga, D. S. 2007. Prinsip Desain Pembelajaran.  Jakarta: Kencana.


TINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS DRAMA DENGAN MODEL MIND MAPPING

Oleh: Wahyuni

(Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 2 Ngemplak Boyolali Jawa Tengah)


Pembelajaran bahasa Indonesia di kelas IX SMP khususnya ketrampilan menulis, disinyalir belum ideal karena hasil belajar yang diraih siswa masih rendah. Hal ini diindikasikan dari kualitas pembelajaran serta keterampilan menulis naskah drama siswa yang tergolong masih rendah. Rendahnya kualitas pembelajaran tersebut diindikasikan oleh kurangnya keaktifan, perhatian, konsentrasi, minat, dan motivasi siswa terhadap pembelajaran menulis naskah drama. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh keterampilan guru mengelola kelas. Keterampilan pengelolaan kelas yang kurang dapat mengarahkan pada pembelajaran menulis naskah drama yang konvensional. Adapun rendahnya kemampuan menulis naskah drama siswa ditandai oleh kreativitas, imajinasi, pengorganisasian paragraf, pemanfaatan potensi kata, pengembangan bahasa, mekanik, dan ketuntasan belajar yang kurang Sementara itu, sebagian besar siswa menyatakan bahwa mereka tidak tahu apa yang mesti ditulis. Terkadang sudah ada ide, tetapi tidak bisa mengembangkan lebih lanjut sehingga cerita tidak terselesaikan dengan baik. Beberapa cerita drama bahkan memiliki alur cerita yang sama dengan cerita pada sinetron kebanyakan. Di samping itu, sebagian besar naskah drama yang ditulis siswa memiliki ending yang tidak logis. 
Berdasar pada permasalahan yang ada, dipilihlah model pembelajaran peta konsep (Mind Mapping) untuk mengatasi permasalahan tersebut. Model pembelajaran ini dipilih untuk melakukan pencatatan secara ringkas dan sistematis serta dapat mengembangkan gagasan karena rangsang visual berupa gambar serta warna yang ditawarkan. Di samping itu, model ini diharapkan mampu mengoptimalkan fungsi kerja otak kanan sehingga dapat membangkitkan kreativitas dan imajinasi yang sangat diperlukan dalam kegiatan menulis naskah drama. Siswa dapat mengembangkan ide dari peta konsep yang telah dibuat sehingga tidak lagi kehabisan ide. Hal ini akan lebih mengefektifkan waktu pembelajaran.

Peta konsep atau disebut dengan Mind Mapping merupakan salah satu model pembelajaran belajar yang dikembangkan oleh Tony Buzan tahun 1970-an yang didasarkan pada cara kerja otak. Otak mengingat informasi dalam bentuk gambar, simbol, bentuk-bentuk, suara musik, dan perasaan. Otak menyimpan informasi dengan pola dan asosiasi seperti pohon dengan cabang dan rantingnya. Otak tidak menyimpan informasi menurut kata demi kata atau kolom demi kolom dalam kalimat baris yang rapi seperti yang kita keluarkan dalam berbahasa. Untuk mengingat kembali dengan cepat apa yang telah kita pelajari sebaiknya meniru cara kerja otak dalam bentuk peta konsep. Dengan demikian, proses menyajikan dan menangkap isi pelajaran dalam peta-peta konsep mendekati operasi alamiah dalam berpikir (Sugiyanto, 2007).

Mind Mapping memungkinkan otak menggunakan semua gambar dan asosiasinya dalam pola radial dan jaringan sebagaimana otak dirancang seperti yang secara internal selalu digunakan otak, dan anda perlu membiasakan diri kembali. Mind Mapping  merupakan cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak. Mind Mapping  adalah cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan “memetakan” pikiran-pikiran kita (Buzan, 2007). Mind Mapping  bisa dibandingkan dengan peta kota. Bagian tengah Mind Mapping  sama halnya dengan pusat kota dan mewakili gagasan terpentng; jalan- jalan protokol yang memancar keluar dari pusat kota  merupakan  pikiran-pikiran utama dalam proses berpikir, jalan-jalan atau cabang-cabang sekunder merupakan pikiran sekunder.

Model pembelajaran Mind Mapping  sangat tepat digunakan dalam pembelajaran menulis. Komalasari (2013) mengemukakan bahwa pemetaan pikiran adalah cara yang sangat baik untuk menghasilkan dan menata gagasan sebelum menulis. Bagian yang paling sulit dalam menulis adalah mengetahui hal apa yang akan ditulis, apa temanya dan bagimana memulainya. Dengan pemetaan pikiran, sebuah tema dijabarkan dalam ranting-ranting tema yang lain sehingga menjadi pengembang gagasan dalam menulis. Mind mapping merupakan cara mengembangkan kreatifitas siswa. Kreatifitas siswa adalah kunci bagi sukses, baik dalam memunculkan ide-ide yang cemerlang, menemukan solusi yang inspiratif untuk menyelesaikan masalah maupun menemukan cara baru untuk menjadi kreatif. Model ini mampu menggali ide-ide yang cemerlang dan mampu membebaskan seluruh potensi kreatif siswa.

Model seperti ini melibatkan penggalian ide utama menjadi ide-ide turunan, atributnya, turunannya, serta ide-ide terkait lainnya, dan lalu dilanjutkan untuk masing-masing turunannya itu dengan cara yang sama: digali ide-ide turunannya, atributnya, dan ide terkait lainnya. Mind maping juga merupakan cara mencatat yang kreatif, efektif, dan memetakan pikiran-pikiran kita, secara menarik, mudah dan berdaya guna. Kemudian ada beberapa pengertian lain lagi di antaranya adalah cara mengembangkan kegiatan berpikir ke segala arah, menangkap berbagai pikiran dalam berbagai sudut, mengembangkan cara pikir divergen, berpikir kreatif, alat berpikir  organisasional  yang sangat hebat. 

Model pembelajaran Mind Mapping teknik atau cara yang mudah merangkum suatu pelajaran yang memiliki suatu topik dengan cara membuat peta konsep, berbentuk diagram pohon, menuliskan tema atau topik di tengah kertas kemudian menulis kata-kata kunci pada cabang-cabang tema tersebut. Kata kunci merupakan kata-kata tertentu atau kata-kata inti. Kata kunci bagaikan jalan tol yang bisa mempercepat informasi sampai ke otak anak. Melalui kata-kata kunci yang dipilih seperti diagram atau cabang-cabang pohon, informasi akan mudah diterima otak. Kata kunci merupakan kata-kata tertentu yang bagaikan “jalan tol” bisa cepat sampai ke otak. Seperti halnya kata kunci, kata-kata ini juga bisa membuka pintu langsung ke otak anak. Cara termudah membuat Mind Mapping adalah memberikan prinsip dasar kata kunci.

Model pembelajaran peta konsep (Mind Mapping) sangat tepat digunakan dalam pembelajaran menulis. Komalasari (2013) mengemukakan bahwa pemetaan pikiran adalah cara yang sangat baik untuk menghasilkan dan menata gagasan sebelum menulis. Bagian yang paling sulit dalam menulis adalah mengetahui hal apa yang akan ditulis, apa temanya dan bagaimana memulainya.. Dengan pemetaan pikiran, sebuah tema dijabarkan dalam ranting-ranting tema yang lain sehingga menjadi pengembang gagasan dalam menulis. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah- langkah dalam membuat peta konsep adalah sebagai berikut:
  1. Memilih suatu bahan bacaan
  2. Menentukan konsep-konsep yang relevan
  3. Mengurutkan konsep-konsep dari yang inklusif ke yang kurang inklusif
  4. Menyusun konsep-konsep tersebut dalam suatu bagan, konsep yang inklusif diletakkan di bagian atas atau puncak peta lalu dihubungkan dengan kata penghubung misalnya "terdiri atas", "menggunakan" dan lain-lain.
Dari penerapan model pembelajaran Mind Mapping tersebut diharapkan terjadi peningkatan baik pada kualitas proses pembelajaran yang ditandai dengan peningkatan keaktifan, perhatian, konsentrasi, minat, dan motivasi siswa terhadap pembelajaran menulis naskah drama, maupun keterampilan menulis naskah drama yang ditandai dengan peningkatan kreativitas, imajinasi, pemanfaatan potensi kata, pengembangan bahasa pada naskah drama karangan siswa dan ketuntasan belajar.

REFERENSI

  • Buzan,  Tony.  2007. Buku  Pintar  Mind  Map.  Jakarta:  PT  Gramedia  Pustaka Utama.
  • Daryanto dan Mulyo R. 2012. Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Gava Media.
  • Huda, Miftahul. 2013. Model-model pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT. Refika Aditama.
  • Sugiyanto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13.

TINGKATKAN KREATIVITAS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROJECT WORK

Oleh: Nurhadi Joko Prakoso, S.Pd.

(Guru Produktif OTKP SMK Negeri 3 Surakarta - Jawa Tengah)

Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan pesert didik untuk mencapaitujuan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan tertentu. Pendidikan berfungsi membantu peserta didik dengan pengembangan dirinya, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya ke arah yang positif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Pendidikan bukan sekedar memberikan pengalaman  pengetahuan atau nilai-nilai atau melatihkan keterampilan tetapi mengembangkan apa yang secara potensial dan aktual telah dimiliki peserta didik.

Berbicara masalah berkualitas dalam bidang pendidikan sangat  erat kaitannya dengan pengembangan kreativitas peserta didik yang pada dasarnya dimiliki setiap individu, dikarenakan peseta didik adalah sebagai subjek yang akan menentukan kualitas pendidikan sehingga potensi-potensi yang dimilikinya harus ia kembangkan seperti pada potensi kreativitas. Kreativitas sebagai salah satu aspek yang berperan dalam prestasi belajar anak di sekolah perlu dikembangkan. Hal ini dimaksudkan guna meningkatkan potensi anak secara utuh dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Peserta didik yang kreativitasnya tinggi memiliki prestasi sekolah yang tidak berbeda dengan kelompok peserta didik yang intelegensinya relatif lebih tinggi. Perubahan-perubahan pada kurikulum yang berlaku di sekolah hanyalah berfokus pada peningkatan prestasi belajar peserta didik. Hal ini menghambat seorang peserta didik dalam mengembangkan kreativitasnya.

Materi pelajaran teknologi perkantoran yang diajarkan pada peserta didik kelas X program keahlian OTKP beragam dan membutuhkan kreativitas peserta didik. Ruang lingkup materi yang dimulai dari pengenalan mengetik 10 jari, aplikasi pengolah kata, aplikasi pengolah angka, aplikasi presentasi sampai dengan membuat blog sederhana. Untuk memahami materi pelajaran ini dibutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skill) dari peserta didik. Kreativitas peserta didik sangat mempengaruhi hasil belajar yang mereka capai. Faktor dominan yang mendukung kreativitas peserta didik adalah model atau gaya mengajar guru. Selama ini sebagian besar pendidik masih melaksanakan pengajaran dengan metode ceramah dengan pengertian bahwa pendidik lebih mengetahui daripada peserta didik. Kondisi pembelajaran seperti ini terasa membosankan bagi sebagian mereka, sehingga mengurangi minat dan semangat belajar. Padahal jika melihat pada era sekarang bukan tidak mungkin peserta didik lebih mengetahui apa yang belum diketahui oleh pendidik berkat kemajuan teknologi yang mudah diakses oleh siapapun. Salah satu upaya untuk mewujudkan kegiatan pembelajaran yang kondusif adalah dengan menerapkan model pembelajaran  Project Work.

Model Project Work merupakan model pembelajaran yang menitikberatkan pada pembelajaran berbasis proyek, yaitu peserta didik diberi proyek/tugas yang dapat meningkatkan kreativitas setiap individu. Menurut Boss dan Kraus (Abidin, 2014). Project Work sebagai sebuah pembelajaran yang menekankan aktivitas peserta didik dalam memecahkan berbagai permasalahan yang bersifat open-ended dan mengaplikasi pengetahuan mereka dalam mengerjakan sebuah proyek untuk menghasilkan sebuah produk otentik tertentu. Model pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalaman dalamm beraktivitas secara nyata. Pembelajaran berbasis proyek dirancang guna investigasi bagi pelajar sekaligus memahami pada saat menghadapi permasalahan yang kompleks. Sejalan dengna pendapat di atas, Warsono (2012) menjelaskan secara sederhana pembelajaran berbasis proyek didefinisikan sebagai suatu pengajaran yang mencoba mengaitkan antara teknologi dengan masalah kehidupan sehari-hari yang akrab dengan peserta didik, atau dengan suatu proyek sekolah.  Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang menekankan kegiatan pembelajaran berdasarkan proyek yang ada di lingkungan sekitar dengan cara memberikan permasalahan maupun pertanyaan yang menantang pada langkah awal dan melibatkan peserta didik dalam mengambil keputusan maupun kegiatan investigasi. Kegiatan tersebut memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja secara berkala dan menghasilkan produk yang nyata maupun berbentuk presentasi.

Model pembelajaran Project Work mengarahkan peserta didik pada prosedur kerja yang sistematis dan standar untuk membuat atau menyelesaikan suatu produk (barang atau jasa), melalui proses produksi/pekerjaan yang sesungguhnya (pendekatan pembelajaran berbasis produksi/production based training). Karakteristik Project Work memadukan unsur belajar-berlatih dan bekerja diharapkan akan dapat menjawab kekurangan-kekurangan yang terjadi pada model pemelajaran konvensional. Pembelajaran mapel produktif menuntut peserta didik dapat membuat bahkan menciptakan suatu produk. Selaras dengan mapel yang diajarkan teknologi perkantoran dan model pembelajaran Project Work yang memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut:

  1. Melakukan pekerjaan nyata;
  2. Mulai dari merancang sampai pelaporan;
  3. Tidak terbatas di dalam kelas;
  4. Memberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk berkreasi;
  5. Lingkup pekerjaan relatif lebih luas;
  6. Mempertimbangkan nilai ekonomis.

Terjadi perpaduan serasi (pengintegrasian) antara pembelajaran dan penilaian dalam aktivitas Project Work. Di satu sisi terjadi proses pembelajaran yang merupakan wujud dari pendekatan pembelajaran berbasis produksi (production-based training), di mana peserta didik diarahkan untuk mengerjakan/ menyelesaikan suatu pekerjaan/tugas secara utuh dan terstandar; mulai dari tahap perencanaan (proposal), pelaksanaan, hingga pemaparan hasil (pelaporan). Di sisi lain terjadi proses penilaian secara berkelanjutan sesuai dengan tahapan pelaksanaan kegiatan. Akhirnya peserta didik yang diuji (peuji) dinyatakan berhasil menyelesaikan tugas/pekerjaan dan lulus atau kompeten, bila berdasarkan hasil penilaian terbukti kemampuan kinerjanya (performance) sudah memenuhi kriteria kinerja yang ditentukan, dan produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan/spesifikasi.

Penggunaan pendekatan penilaian Project Work dalam pembelajaran, penilaian hasil belajar (ujian), dan bahkan sertifikasi kompetensi peserta didik SMK bertujuan untuk mengembangkan suatu sistem penilaian yang:

  1. Merupakan bagian integral dari proses pemelajaran terstandar, bermuatan edukasi, dan penuh makna (meaningful);
  2. Memberi peluang kepada peserta/peuji untuk mengekspresikan kompe-tensi yang dikuasainya secara utuh;
  3. Lebih efisien dan menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis; serta
  4. Menghasilkan nilai penguasaan kompetensi yang dapat dipertanggung-jawabkan dan memiliki kelayakan untuk disertifikasi.

Berdasarkan uraian yang telah tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa langkah-langkah model pembelajaran Project Work pada mapel teknologi perkantoran  adalah:

  1. Pembelajaran yang dimulai dengan pertanyaan mendasar, yaitu pertanyaan yang dapat merangsang para peserta didik agar masuk dalam pembelajaran dan mengkaitkan materi yang akan diajarkan dengan kehidupan sehari-hari yang diharapkan dapat lebih mudah dipahami peserta didik.
  2. Mendesain perencanaan proyek yang dilakukan secara bersama-sama antara guru dan peserta didik yang berunding mengenai aturan main, serta alat dan bahan yang akan digunakan dalam menyelesaikan suatu proyek.
  3. Menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek secara bersama- sama yang berisikan mengenai target waktu pelaksanaan, yang diharapkan mampu untuk tepat waktu dan tepat sasaran.
  4. Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek yaitu pada tahapan ini guru harus memonitor (memantau) aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek, yang dilakukan dengan cara membimbing dan memfasilitasi peserta didik pada setiap proses. Guru lah yang menjadi tanggung jawab dalam proses maupun hasil ini.
  5. Menguji Hasil, pada tahapan ini guru melakukan penilaian yang bertujuan untuk mengukur ketercapaian kriteria ketuntasan minimal yang berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing-masing peserta didik.
  6. Mengevaluasi Pengalaman, tahapan ini adalah tahapan akhir dalam kegiatan ini, guru dan peserta didik melakukan refleksi baik individu maupun kelompok. Pada tahap ini pula peserta didik diminta mengungkapkan perasaan dan pengalamannya selama menyelesaikan proyek. Guru dan peserta didik melakukan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, yang pada akhirnya akan menemukan temuan baru dan menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama.

Penerapan model pembelajaran ini sangat menekankan pada keterampilan peserta didik sehingga mampu menciptakan ataupun menghasilkan suatu proyek, dan membuat peserta didik seolah-olah bekerja di dunia nyata dan menghasilkan sesuatu. Penerapan model pembelajaran Project Work dapat memberi kesempatan pada peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya terutama kreativitas peserta didik sekaligus membantu mereka mencapai hasil belajar yang lebih maksimal.


REFERENSI

  • Abidin,Y. 2014. Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: Refika Aditama.
  • Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik untuk Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Sumarmi. 2012. Model-Model Pembelajaran Geografi. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
  • Suprijono, Agus. 2013. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pusaka Pelajar.
  • Warsono, dkk. 2012. Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


PENERAPAN MODEL THINK PAIR SHARE PADA PEMBELAJARAN TIK

Oleh. Joko Menitus Retpusa Lelana, S.Pd.

(Guru Bimbingan TIK SMP Negeri 2 Ngemplak Boyolali Jawa Tengah)

Majunya perkembangan Information Communication Technology (ICT) sekarang ini membuat dunia terasa semakin sempit karena segala sesuatunya dapat dijangkau dengan sangat mudah. Adanya media-media elektronik sebagai alat komunikasi seperti televisi, radio maupun internet semakin mempermudah masuknya informasi dari luar. Jika kondisi semacam ini tidak diimbangi dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola informasi tersebut maka yang terjadi adalah kerugian bagi masyarakat sendiri. Mereka hanya mampu menerima informasi itu secara utuh tanpa mampu menentukan mana yang berdampak positif dan mana yang berdampak negatif. Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terbesar di dunia harus cepat tanggap dengan hal semacam ini. 

Salah satu cara untuk mempersiapkan dan mencetak SDM yang berkualitas tinggi adalah melalui proses pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting karena dalam proses pendidikan masyarakat dipersiapkan menjadi manusia yang bermoral, berilmu pengetahuan serta beriman dan bertaqwa. Hal tersebut adalah modal utama dalam menghadapi segala tantangan perkembangan zaman.

Dalam proses pendidikan di sekolah ada proses belajar mengajar yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan. Keberhasilan proses belajar mengajar dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor internal yang meliputi guru dan siswa maupun faktor eksternal yaitu faktor di luar guru dan siswa seperti lingkungan dan fasilitas belajar mengajar. Proses belajar mengajar akan berhasil apabila kedua faktor tersebut dapat diintegrasikan dengan baik. Dalam proses belajar mengajar harus terjadi interaksi dua arah antara guru dan siswa. Informasi yang disampaikan guru harus mendapat umpan balik dari siswa maksudnya siswa tidak begitu saja menerima informasi tersebut tetapi siswa juga harus bersikap kritis. Siswa harus bertanya apabila ada materi yang belum jelas bahkan siswa dapat mengoreksi kesalahan guru dalam menyampaikan materi jika siswa sudah tahu terlebih dahulu dari sumber lain. Guru juga harus menerima hal tersebut dengan lapang dada sehingga benar-benar terjadi proses belajar mengajar antara guru dengan siswa. Pada akhirnya perolehan hasil belajar siswa sangat ditentukan oleh baik tidaknya kegiatan pembelajaran selama dikelas. Beragam gaya mengajar yang dilakukan dengan khas oleh masing-masing guru di kelasnya dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Mulai dari perpaduan metode yang dilakukan, teknik dan taktik yang dilakukan berbeda-beda tapi dengan tujuan yang sama yaitu untuk mencapai tujuan belajar. Ketika hal itu dilakukan oleh guru dalam kelasnya, pada saat itu seorang guru sedang menerapkan sebuah model pembelajaran. 

Model pembelajaran dalam mata pelajaran bimbingan TIK yang dilakukan ternyata hanya didominasi oleh siswa-siswa tertentu saja. Partisipasi siswa belum menyeluruh sehingga menyebabkan kesenjangan antara siswa yang aktif dengan siswa yang kurang aktif. Siswa yang aktif dalam kegiatan belajar mengajar cenderung lebih aktif dalam bertanya dan menggali informasi dari guru maupun sumber belajar lain sehingga cenderung memperoleh hasil belajar yang baik. Siswa yang kurang aktif cenderung pasif dalam kegiatan belajar mengajar, mereka hanya menerima pengetahuan yang datang padanya dan malas untuk mencari informasi dari guru maupun sumber lain sehingga cenderung memperoleh hasil belajar yang rendah. Untuk mengatasinya guru dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif yang mampu melibatkan keaktifan siswa secara keseluruhan. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan guru adalah model pembelajaran Think Pair Share.

Arends (dalam Anita Lie, 2010) menyatakan bahwa Think Pair Share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Sejalan dengan itu, menurut Trianto (2013: 81) mengemukakan bahwa model pembelajaran Think Pair Share (TPS) atau berpikir-berpasangan-berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa dengan TPS siswa diberi kesempatan untuk berpikir sendiri terlebih dahulu kemudian berdiskusi dengan temannya yang diperkuat lagi dengan teori dari Amin Suyitno (2010) yang mengemukakan bahwa model pembelajaran Think Pair Share merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana yang memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Isjoni (2013: 42) mengemukakan bahwaThink Pair Share (TPS) merupakan suatu model pembelajaran kooperatif sederhana yang memiliki prosedur secara eksplisit sehingga model pembelajaran TPS dapat disosialisasikan dan digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran di sekolah. 

Dengan demikian yang dimaksud dengan model pembelajaran kooperatif TPS adalah suatu model yang dapat memberi siswa lebih banyak kesempatan untuk berpikir dan berpendapat secara individu untuk merespon pendapat yang lain kemudian saling membantu dalam kelompoknya kemudian membagi pengetahuan kepada siswa lain.

Menurut Amin Suyitno (2010) langkah-langkahThink Pair Share ada tiga, yaitu: Thinking (berpikir), siswa diberi pertanyaan dan harus memikirkan jawaban secara individu. Pairing (berpasangan), siswa dengan teman sebangku mendiskusikanyang telah dipikirkan pada tahap thinking, dan Sharing (berbagi), siswa berpasangan berbagi hasil diskusi kepada seluruh kelas. Berdasarkan pendapat tersebut, implementasi model pembelajaran TPS pada mata pelajaran Bimbingan TIK dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Guru menyampaikan materi pembelajaran
  2. Siswa dipasangkan dengan teman sebangkunya untuk melakukan:
    • Think, guru membimbing siswa saat mencari masukan jawaban atau pendapat yang bersumber dari buku yang relevan secara individu atas pertanyaan yang diberikan kepada siswa.
    • Pair, mengembangkan aktivitas berpikir siswa dalam berdiskusi jawaban satu sama lain dengan teman sebangku, dan mengupayakan siswa aktif dalam diskusi dengan teman sebangku di belakang/ di depannya atau dalam kelompok (kelompok terbentuk). 
    • Share, membimbing aktivitas penyajian hasil diskusi masing-masing kelompok yang ditanggapi oleh kelompok lain.
  3. Selesai berdiskusi guru melakukan evaluasi individual

Penerapan model pembelajaran Think Pair Share ini menjadikan siswa lebih komunikatif dan berani dalam mengemukakan ide maupun pendapatnya melalui interaksinya dengan pasangannya akan. Selain itu, penentuan pasangan secara heterogen dapat melatih siswa bersikap saling menghormati dan toleransi terhadap keragaman misalnya perbedaan latar belakang siswa, agama, suku, budaya, dan sebagainya. Siswa akan tetap bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok dan tidak memandang adanya perbedaan. Siswa juga memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar, jadi seluruh siswa mendapatkan informasi yang beragam dari kegiatan yang telah dilakukan. Harapannya adalah siswa dapat memahami materi yang diberikan guru melalui kegiatan pembelajaran yang berkualitas untuk meningkatkan hasil belajarnya.


REFERENSI

  • Isjoni. 2013. Cooperative Learning: Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok. Bandung: Alfabeta.
  • Lie. Anita. 2010. Mempraktikkan Coopertive Learning di Ruang-Ruang Kelas.  Jakarta : Gramedia.
  • Slavin, Robert, E. 2010. Coopertive Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
  • Suprijono, Agus. 2011. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Surabaya: Pustaka Pelajar. 
  • Suyitno, Amin. 2010. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika. Semarang: FMIPA UNNES.
  • Trianto, 2013. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.



IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN TAI DALAM PEMBELAJARAN BOLA BASKET

Oleh: St. Purwoko Damarjati K., S.Pd.

(Guru Penjasor SMK Negeri 3 Surakarta - Jawa Tengah)


Pada hakikatnya pendidikan jasmani atau olahraga adalah pendidikan melalui aktifitas fisik dengan tujuan untuk mengembangkan penguasaan keterampilan motorik peserta didik. Inti dari pendidikan jasmani adalah gerak, artinya menjadikan gerak sebagai alat pendidikan dan pembinaan serta pengembangan potensi peserta didik. Pendidikan jasmani yang diterapkan adalah olah gerak yang mampu membangkitkan gairah dan motivasi anak dalam bergerak.
Pendidikan jasmani di sekolah dipusatkan pada pendidikan cabang-cabang olahraga atletik yang berorientasi pada penguasaan teknik. Cabang olahraga yang diajarkan adalah cabang-cabang olahraga yang mampu membangkitkan dan memacu kreatifitas dan menumbuhkembangkan potensi olahraga dan keterampil-an motorik peserta didik dan bukan sekedar aktifitas yang tidak terstruktur dan tidak teroganisir. Salah satu cabang olahraga bola besar yang diajarkan di SMK adalah cabang olahraga bola basket. Olahraga bola basket adalah permainan beregu yang menuntut pola kerjasama antar pemain dalam satu tim yang kompak untuk mencapai kemenangan. Meskipun sifatnya adalah permainan tim, namun penguasaan teknik dasar individual sangat berpengaruh terhadap keberhasilan tim. Karena itu keterampilan individual dalam penguasaan teknik dasar permainan bola basket sangat penting untuk menunjang keberhasilan tim. 

Dalam permainan bola basket ada beberapa teknik dasar yang harus dikuasai oleh seluruh anggota tim. Teknik dasar permainan bola basket adalah teknik mengoper bola (passing), menangkap bola (catching), menggiring bola (dribbling) dan menembak bola (shooting). Dari keempat teknik dasar tersebut, teknik mengoper bola (passing) menjadi kunci dan merupakan ketrampilan yang harus dikuasai dengan baik oleh setiap pemain di posisi manapun. Passing merupakan teknik dasar permainan bola basket yang paling sering digunakan dalam suatu pertandingan bola basket. Passing adalah teknik memberikan bola atau mengoperkan bola ke sesama pemain dalam satu regu. Teknik ini menjadi salah satu bukti bahwa permainan bola basket merupakan permainan beregu yang memerlukan kerjasama antar pemain untuk memenangkan suatu pertandingan. Teknik mengoper merupakan bagian dari komunikasi antar pemain ketika sedang bertanding. Dalam permainan bola basket, passing terbagi menjadi beberapa jenis, yakni chest pass, bounce pass, over head pass, base ball pass, dan hook pass.

Kegiatan pembelajaran bola basket yang dilakukan lebih sering menggunakan model yang konvensional, guru berperan sangat dominan ketika pembelajaran berlangsung. Siswa hanya mendengarkan instruksi, menonton contoh teknik basket oleh guru kemudian mereka mempraktekkannya. Kondisi pembelajaran ini kurang efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa mengoper bola pada permainan bola basket. Siswa yang tidak senang pada permainan basket akan semakin tidak senang (apriori), sebab mereka semakin tidak paham. Berbeda halnya ketika semua siswa terlibat aktif untuk mengurangi kesenjangan kemampuan antar mereka. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka guru dapat menerapkan model pembelajaran Team Assisted Individualization sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan kemampuan mengoper bola. 

Terjemahan bebas dari Team Assisted Individualization (TAI) adalah bantuan individual dalam kelompok dengan karakteristik bahwa tanggung jawab belajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi. Urutan langkah pembelajaran dari Team Assisted Individualization (TAI) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupa modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu siswa yang ahli atau terampil dalam anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.

Menurut Agus Suprijono (2009), model pembelajaran koopertif Team Assisted Individualization termasuk pembelajaran kooperatif yang diikuti pemberian bantuan secara individu bagi siswa yang memerlukannya. Model pembelajaran TAI memiliki delapan komponen:
  1. Team yaitu pembentukan kelompok yang heterogen.
  2. Tes penempatan, para siswa diberikan tes pra-program pada permulaan pelaksanaan program.
  3. Materi-materi kurikulum, pemberian materi-materi kurikulum individual sesuai bahan yang diajarkan.
  4. Belajar kelompok, tindakan belajar yang dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan secara individu kepada siswa yang membutuhkanya.
  5. Pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan penghargaan terhadap kelompok yang berhasil dan yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesikan tugas.
  6. Kelompok pengajaran, pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok.
  7. Tes fakta, pelaksanaan tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh oleh siswa.
  8. Pemberian materi oleh guru pada seluruh siswa dalam kelas dengan strategi pemecahan masalah.
Penerapan model pembelajaran kooperatif Team Assisted Individualization (TAI) merupakan salah satu solusi pembelajaran untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa, serta mampu mengatasi kemampuan yang heterogen dalam kelompok. TAI juga dapat meningkatkan kemampuan individu anggotanya karena anggota yang berkemampuan baik akan membantu anggota yang berkemampuan kurang karena keberhasilan sebuah kelompok tergantung pada semua anggota kelompok.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pelaksanaan kegiatan pembelajaran bola basket dengan model pembelajaran  Team Assisted Individualization adalah sebagai berikut:
  1. Guru menjelaskan materi cara mengoper bola basket secara singkat dan mempraktikannya di depan siswa. 
  2. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan anggota 4 - 6 orang pada setiap kelompoknya. Kelompok dibuat heterogen tingkat kepandaiannya dengan memperhatikan keharmonisan kerja anar kelompok.
  3. Tiap ketua kelompok diberi penjelasan khusus dari guru.
  4. Ketua kelompok melaporkan keberhasilan atau hambatan yang dilalami anggota kelompoknya kepada guru. Jika diperlukan guru melakukan bantuan secara individual kepada siswa.
  5. Ketua kelompok harus dapat menetapkan bahwa setiap anggota telah memahami materi bahan ajar yang diberikan oleh guru, dan siap untuk diberi tes oleh guru. 
  6. Guru memberikan tes dan guru harus mengumumkan hasilnya dan menetapkan kelompok terbaik sampai kelompok yang kurang berhasil (jika ada). 
  7. Menjelang akhir waktu, guru memberikan latihan pendalaman secara klasikal dengan menekankan strategi pemecahan masalah.
  8. Guru dapat memberikan tes formatif sesuai dengan kompetensi yang ditentukan.
Pada model pembelajaran model Team Assisted Individualization ini terdapat saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri, interaksi personal, serta keahlian dalam bekerjasama dalam kelompok. Dengan penggunaan model ini, siswa dapat lebih aktif, kreatif dan bergembira serta saling membantu antar teman untuk memahami materi, saling memberi motivasi atau dorongan, dan evaluasi. Penerapan model pembelajaran ini akan menumbuhkan semangat, kreatifitas dan prestasi belajar siswa melalui kegiatan pembelajaran yang berkualitas. 

REFERENSI

  • Anwarudin. Sahadi. 2011.  Berlatih Olahraga Permainan Bola Besar. PT Wadah Ilmu. 
  • Suherman. Adang. 2000. Dasar-Dasar Penjaskes. Jakarta: Depdiknas. 
  • Suprijono. Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Surabaya : Pustaka Pelajar. 
  • Robert. E. Slavin. 2005. Cooperative Learning, Bandung: Nusa Media.
  • Yoyo. Bahagia. 2000. Prinsip-Prinsip Pengembangan dan Modifikasi Cabang Olahraga. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Dasar Menengah.

LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK ONLINE DI ERA PANDEMI

Oleh: Tutik Wuryani, S.Pd., M.Pd.

(Guru BK SMA Negeri 1 Sumberlawang Sragen - Jawa Tengah)

Pendidikan merupakan proses yang tanpa akhir (Education Is The Process Without End), dan pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental baik menyangkut daya pikir daya intelektual maupun emosional perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. Oleh karena itu, proses belajar menjadi kunci untuk keberhasilan pendidikan. Agar proses belajar menjadi berkualitas membutuhkan tata layanan yang berkualitas (Sagala, 2013). Guru adalah tenaga profesional dengan tugas utama mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalan pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Di samping itu guru mempunyai tugas pokok: menyusun program pembelajaran, menyajikan program pembelajaran, mengevaluasi hasil belajar, menganalisis hasil evaluasi belajar, menyusun program perbaikan dan penjagaan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya. 

Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa proses pendidikan harus berjalan dalam keadaan apapun, termasuk pada kondisi pandemi Covid-19 saat ini, pelaksanaan pendidikan tidak boleh terhenti. Sebagai upaya mengurangi angka penyebaran Covid-19 dan kegiatan pendidikan dapat berjalan seperti biasa maka pemerintah melakukan beberapa langkah, salah satunya dengan menerapkankegiatan belajar mengajar melalui sistem online atau sistem dalam jaringan (daring). Sistem pembelajaran tersebut dilakukan tanpa tatap muka secara langsung, melainkan dilakukan dengan sistem pembelajaran jarak jauh. Demikian pula pelaksanaan layanan bimbingan kelompok oleh guru bimbingan dan konseling pun dilakukan dengan daring. 

Layanan bimbingan kelompok merupakan proses pemberian informasi dan bantuan pada sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok guna mencapai suatu tujuan tertentu. Layanan yang diberikan dalam suasana kelompok selain itu juga bisa dijadikan media penyampaian informasi sekaligus juga bisa membantu siswa menyusun rencana dalam membuat keputusan yang tepat sehingga diharapkan akan berdampak positif bagi siswa yang nantinya akan menumbuhkan konsep diri yang positif. Selain itu apabila dinamika kelompok dapat terwujud dengan baik maka anggota kelompok saling menolong, menerima dan berempati dengan tulus.

Menurut Prayitno layanan bimbingan kelompok adalah suatu layanan bimbingan yang di berikan kepada siswa secara bersama-sama atau kelompok agar kelompok itu menjadi besar, kuat, dan mandiri. Layanan bimbingan kelompok dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya masalah atau kesulitan pada diri konseli (siswa). Bimbingan kelompok dapat berupa penyampaian informasi atau aktivitas kelompok membahas masalah-masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi, dan masalah sosial. Mereka memperoleh berbagai bahan dari Guru Pembimbing yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, anggota keluarga dan masyarakat, serta dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mengambil keputusan. 

Untuk melaksanakan layanan bimbingan kelompok tersebut, guru  memilih menggunakan media sosial. Di era sekarang siswa pada saat ini sudah banyak yang mempunyai media sosial berupa WhatsApp, Instagram, Facebook, Youtube dan sebagainya. Penggunaan media sosial dari siswa tersebut hanya sebatas untuk berkomunikasi dengan teman-teman yang lain saja. Salah satu media sosial yang sering digunakan yaitu, WhatsApp. Media WhatsApp digunakan untuk memberikan dan berbagi materi pelajaran serta menyimpan dokumen dalam bentuk pdf, microsoft word, excel, dan powerpoint. Maka dari itu, apabila menggunakan WhatsApp berbagi dokumen dengan dengan format/ bentuk di atas jauh lebih mudah. Pembelajaran ini akan lebih menarik apabila semua siswa aktif dalam pembelajaran tersebut. Fitur dari WhatsApp yang lain adalah bisa mengirim Voice Notes atau perekam suara. Perekam suara bisa digunakan untuk siswa dalam mengemukakan pendapatnya. Selain itu untuk melaksanakan diskusi kelompok (maksimal 8 orang) secara online yang hemat, guru dapat memanfaatkan panggilan grup video (Video Call).

Dengan menggunakan medsos WhatsApp ini siswa merasa sebagai subyek dalam kegiatan pembelajaran (student centered) sehingga mereka menjadi lebih bersemangat ketika mengikuti kegiatan bimbingan kelompok daring. Ada beberapa fitur dari WhatsApp yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran efektif, di antaranya adalah:

  1. WhatsApp pesan digunakan untuk menulis pesan baik dalam grup atau jaringan pribadi.
  2. Forward memudahkan untuk mengirim atau melanjutkan pesan atau maateri ke teman yang lain 
  3. Voice Notes atau perekam suara memudahkan siswa mengutarakan pendapatnya 
  4. Video Call grup dapat digunakan guru untuk berdiskusi dengan kelompok siswa. Untuk yang sudah melakukan pembaharuan, fitur ini dapat digunakan untuk melakukan panggilan dengan 8 orang sekaligus.
  5. Grup memudahkan guru untuk membuat grup di setiap kelas atau siswa dengan kelompok layanan bimbingannya.

Dengan layanan melalui media sosial WhatsApp tersebut, para siswa dapat diajak untuk bersama-sama mengemukakan pendapat tentang sesuatu dan membicarakan topik-topik penting, mengembangkan nilai-nilai tentang hal tersebut dan mengembangkan langkah-langkah bersama untuk menangani permasalahan yang dibahas dalam kelompok.

Kelompok yang semua anggotanya merupakan teman yang sebaya sering disebut kelompok teman sebaya. Pada saat pelaksanaan layanan bimbingan  daring iniliah mereka dinilai oleh orang lain. Penilaian ini akan dijadikan sebagai cermin dalam memandang dan menilai dirinya sendiri. Mereka dapat membandingkan antara “saya dapat menjadi apa” dengan “saya seharusnya menjadi apa”. Hasil dari perbandingan ini berupa rasa harga diri. Semakin besar perbedaan keduanya akan semakin rendah harga dirinya. Suasana memberi dan menerima di dalam bimbingan kelompok dapat menumbuhkan harga diri dan keyakinan diri anggota. Anggota akan saling menolong, menerima dan berempati secara tulus. Hal ini dapat menumbuhkan suasana yang positif dalam diri mereka. Terlebih lagi apabila semua anggota kelompok merupakan teman-teman sebaya. 

Harapan dari pelaksanaan layanan bimbingan daring ini adalah:

  1. Memberikan kesempatan-kesempatan pada siswa  belajar hal-hal yang berkaitan dengan masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial. 
  2. Memberikan layanan-layanan penyembuhan melalui kegiatan kelompok.
  3. Bimbingan secara kelompok  lebih ekonomis dari pada melalui kegiatan  bimbingan individual. 
  4. Untuk melaksanakan layanan konseling individu secara lebih efektif. 

Layanan bimbingan kelompok  yang dilakukan guru secara daring ini diharapkan membentuk pribadi individu yang dapat hidup secara harmonis, dinamis, produktif, kreatif dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara optimal.


DAFTAR PUSTAKA

  • Prayitno dan Erman Amti.1999. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Depdikbud: Rineka Cipta.
  • Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. 
  • Sagala, Syaiful. 2010, Kemampuan Professional Guru Dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta.
  • Santoso, Slamet. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara.


MODEL PBL BANTU TINGKATKAN PRESTASI BELAJAR BAHASA INGGRIS

Oleh: Suratmi, S.Pd.

(Guru Bahasa Inggris SMA Batik 2 Surakarta - Jawa Tengah)

Kegiatan belajar mengajar dimaksudkan untuk mempertinggi prestasi belajar melalui penambahan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dan latihan-latihan. Belajar akan lebih berhasil bila siswa mempunyai minat, keinginan dan tujuan dari hasil belajar yang diharapkan, baik tujuan jangka pendek atau jangka panjang. Salah satu cara untuk meningkatkan prestasi belajar dan keaktifan siswa adalah penggunaan model pembelajaran yang tepat. Pembelajaran konvensional di mana proses pembelajaran didominasi guru dan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya masih kurang. 

Kegiatan pembelajaran Bahasa Inggris yang selama ini dilakukan lebih banyak berpendekatan teacher centered, terlihat guru masih sangat dominan berperan selama kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran seperti ini belum berhasil membuat siswa lebih aktif dan bersemangat mengikuti pelajaran. Ketiadaan variasi dalam proses pembelajaran membuat mata pelajaran ini terasa menjemukan bagi sebagian siswa. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru sehingga berakibat rendahnya prestasi belajar siswa pada mata pelajaran ini.

Menurut Wina Sanjaya (2014) “Model pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Sebagai salah satu komponen pembelajaran, metode menempati peranan yang tidak kalah pentingnya dari komponen-komponen lainnya dalam kegiatan belajar mengajar untuk meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa. Tidak ada satupun kegiatan belajar mengajar tanpa metode, karena dengan metode dapat meningkatkan motivasi siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Oleh karena itu, model pembelajaran memberi manfaat bagi guru selaku pengajar dan bagi siswa dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran merupakan suatu cara yang dipilih agar dalam tugas mengajar, guru dapat menyampaikan materi pelajaran secara efektif dan efisien. Hal ini akan mempermudah guru dalam melakukan tugas mengajarnya sedangkan siswa akan lebih aktif dan lebih mudah dalam menerima materi pelajaran.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi pada kegiatan pembelajaran bahasa Inggris, diperlukan model pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Salah satu solusi untuk mengatasinya adalah guru menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Learning) untuk memacu siswa berfikir kritis, dan memotivasi siswa untuk membuat kata-kata yang tepat agar dapat menjelaskan kepada teman yang lain serta memicu terjadinya diskusi yang tidak didominasi siswa tertentu, tetapi semua siswa dituntut menjadi aktif. 

H.S. Barrows dalam M. Taufiq Amir (2009) sebagai pakar PBL berpendapat bahwa “Problem Based Learning (PBL) adalah sebuah model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru”. Masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya. PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata, lalu dari masalah ini siswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya sehingga dari ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan PBL.

Beberapa ciri- ciri utama model pembelajaran Problem Based Learning menurut M. Taufiq Amir (2009) adalah sebagai berikut:

  1. Pembelajaran berpusat atau bermula dengan masalah.
  2. Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan dihadapi oleh siswa di masa depan.
  3. Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh siswa semasa proses pembelajaran disusun berdasarkan masalah.
  4. Para siswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
  5. Siswa akan bersifat aktif dalam proses pembelajaran berlangsung.
  6. Pengetahuan yang ada akan menyokong pembangunan pengetahuan yang baru.
  7. Pengetahuan akan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
  8. Siswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.

PBL adalah model pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata”. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran. Model ini dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja sama dan interaksi, mendiskusikan hal- hal yang tidak atau kurang dipahami serta berbagi peran untuk melaksanakan tugas dan saling melaporkan.

Penggunaan model pembelajaran PBL memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Adapun alasan digunakannya model pembelajaran PBL dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, model pembelajaran PBL merupakan model pembelajaran yang menyenangkan dan dapat meningkatkan keaktifan siswa. Kedua, model pembelajaran PBL merupakan suatu model pembelajaran yang membuat siswa belajar ke dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda. Penyelesaian tugas kelompok ini, setiap anggota harus tahu materinya, tanggung jawab individual seperti ini memotivasi siswa untuk meningkatkan pengetahuan yang dimilikinya. Ketiga, model pembelajaran PBL menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara sehingga memacu keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dan mengembangkan segala potensi siswa secara optimal sehingga diharapkan prestasi belajar siswa akan meningkat.

Model pembelajaran Problem Based Learning memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut:

  1. Mengajak siswa berfikir secara rasional
  2. Menjadi lebih ingat dan meningkatkan pemahamannya atas materi pelajaran
  3. Dapat merangsang siswa untuk berfikir dan menghubungkan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat
  4. Memotivasi siswa giat belajar
  5. Membangun kerja tim, kepemimpinan dan keterampilan siswa

Model pembelajaran ini  pun juga memiliki kelebihan sebagai berikut:

  1. Waktu yang dibutuhkan untuk menerapkan metode Problem Based Learning cukup lama.
  2. Kemungkinan timbul penyimpangan dari pokok persoalan, karena permasalahan diberikan diawal pelajaran sehingga siswa belum paham dengan materi pelajaran.

Keberhasilan dari model pembelajaran ini sangat bergantung pada kemampuan guru dalam mengangkat dan merumuskan masalah. Berdasarkan uraian di atas, maka pada sintak pembelajaran model Problem Based Learning dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Guru membuka proses belajar mengajar
  2. Guru mengajukan permasalahan pada siswa untuk dipecahkan memakai model pembelajaran Problem Based Learning 
  3. Siswa di dalam kelas dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri atas 6 anggota secara heterogen 
  4. Memberi waktu kepada siswa untuk saling mendiskusikan permasalahan yang berkaitan dengan materi tersebut
  5. Mengawasi dan membantu mengarahkan jalannya diskusi
  6. Pengumpulan tugas secara kelompok
  7. Guru mengacak kelompok untuk presentasi terhadap permasalahan yang sudah didiskusikan
  8. Guru melakukan klarifikasi atas hasil presentasi siswa

Penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning diharapkan dapat mendorong siswa bekerjasama dalam kelompoknya. Penggunaan model pembelajaran PBL ini diharapkan dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar serta proses pembelajaran menjadi menyenangkan dan menggembirakan sekaligus kualitas pembelajaran yang berlangsung di kelas.


DAFTAR PUSTAKA

  • Amir, M. Taufiq. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
  • Sanjaya, Wina. 2014. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
  • Suprijono. Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Surabaya: Pustaka Pelajar.

BELAJAR AKUNTANSI DENGAN POWER OF TWO

Oleh: Sri Astuti, S.Pd.

(Guru Ekonomi SMA Negeri 4 Surakarta - Surakarta)

Pelajaran Akuntansi merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah menengah atas yang diberikan sesuai kurikulum pendidikan. Butuh ketelitian dan keuletan yang tinggi untuk mempelajari akuntansi, jika tidak konsentrasi dan memahami dari awal maka akan ketinggalan. Tidak jarang pelajaran akuntansi cenderung dipandang sebagai mata pelajaran yang “kurang diminati” atau “kalau bisa dihindari” oleh sebagian siswa dan kurangnya kesabaran bahwa aliran-aliran yang ada dalam akuntansi mengajarkan untuk dapat berpikir lagi, rasional kritis, cermat, efisien dan efektif. Untuk siswa SMA, akuntansi merupakan mata pelajaran baru. 

Dalam pembelajaran akuntansi dibutuhkan keaktifan sebagai dasar untuk pengembangan materi lebih lanjut, hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor pendekatan pembelajaran yang digunakan. Pembelajaran yang pasif akan menghambat kreatifitas pola pikir siswa dalam memahami suatu konsep. Siswa sebagai individu yang unik dan berbeda antara siswa dan satu dengan siswa yang lain dalam kelas, dapat dilihat dari kemampuan akademiknya. Perbedaan kemampuan akademik ini sangat penting diperhatikan dalam pembelajaran. Kesenjangan antara siswa berkemampuan tinggi dan rendah harus diperhatikan oleh pendidik dalam pembelajaran, diharapkan kesenjangan tersebut semakin diperkecil, baik dalam proses maupun hasil akhir pembelajaran melalui setrategi yang memberdayakan potensi siswa yang berkemampuan berbeda ini. Pemberdayaan potensi siswa yang sangat penting adalah memberdayakan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran.

Ditinjau dari hasil belajar, siswa jurusan IPS SMA Negeri 4 Surakarta masih rendah, ada banyak siswa yang masih belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM). Padahal guru secara umumnya telah mngembangkan analisis KKM dengan memperhatikan aspek-aspek penentuan KKM yang meliputi kompleksitas, daya dukung (fasilitas), dan intake siswa. Guru belum memberdayakan potensi siswa sebagaimana amanat tujuan pendidikan nasional. Kemampuan berpikir kritis belum diberdayakan dalam pembelajaran. Kemampuan akademik yang berbeda di kelas belum diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran. Setrategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru belum mengakomodasi seluruh karakter kemampuan akademik siswa tersebut, sehingga jarak antara siswa berkemampuan atas dan bawah tetap jauh. Sehubungan dengan kasus di atas, maka guru perlu menerapkan suatu setrategi pembelajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir kritis, berorientasi konstruktivistik dan learning comunity dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif The Power of Two. Model pembelajaran ini dalam kenyataannya memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir mendalam (think) tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru, selanjutnya siswa mendiskusikan dalam kelompok atau pasangannya dan menjelaskan kepada siswa secara keseluruhan. 

Model pembelajaran kekuatan berdua (The Power of Two) adalah belajar dalam kelompok kecil denga menumbuhkan kerjasama secara maksimal melalui kegiatan pembelajaran oleh teman sendiri dengan anggota dua orang didalamnya untuk mencapai kompetensi dasar. The Power of Two menurut istilah power (pauwe/kekuatan) dua (two/tu), dua kekuatan. Model pembelajaran kekuatan berdua adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan belajar kolaboratif dan mendorong munculnya keuntungan dari sinergi itu, sebab dua orang tentu lebih baik dari pada satu.

Model pembelajaran The Power of Two ini dirancang untuk memaksimalkan belajar kolaboratif (bersama) dengan memaksimalkan kesenjangan antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Belajar kolaboratif menjadi populer di lingkungan pendidikan sekarang. Dengan menempatkan siswa  keddalam kelompok dan memberinya tugas dimana mereka saling tergantung antara satu dengan yang lain untuk menyeleseikan tugas mereka.hal ini condong lebih menarik dalam belajar, karena mereka melakukannya dengan teman-teman sekelas mereka sendiri.

Aktivitas belajar kolaboratif membantu mengarahkan belajar aktif. Meskipun belajar independen dalam kelas penuh interaksi juga mendorong belajar aktif, kemampuan untuk mengajar melalui aktivitas kerja kolaboratif dalam kelompok kecil akan memungkinkan anda untuk mempromosikan belajar dengan aktif.  Model pembelajaran The Power of Two merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk meningkatkan belajar kolaboratif dan mendorong kepentingan serta keuntungan sinergi itu karenanya dua kepala tentunya lebih baik daripada satu kepala. Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran The Power of Two adalah suatu taktik atau trik yang harus dikuasai dan diterapkan oleh pendidik agar tujuan pembelajaran khusus yang telah diterapkan dapat tercapai dengan menggabungkan kekuatan dua orang dalam proses belajar mengajar.

Sebagai suatu model pembelajaran, model pembelajaran The Power of Two mempunyai beberapa keunggulan,  di antaranya adalah:

  1. Siswa tidak menggantungkan guru, akan tetapi dengan menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber dan belajar dari siswa lain.
  2. Mengembangkan kemampuan, mengngkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkan ide-ide atau gagasan-gagasan orang lain.
  3. Membantu anak agar bekerja sama dengan orang lain, dan menyadari segala keterbatasannya serta menerima segala kekurangannya.
  4. Membantu siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya.
  5. Meningkatkan minat dan memberikan rangsangan untuk berpikir.
  6. Meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial.

Disamping memiliki keunggulan, model ini memiliki kelemahan, diantaranya adalah pembagian pasangan yang kurang seimbang dan kadang-kadang ada  siswa yang kurang bertanggung jawab dalam tugas, membuat mereka lebih mengandalkan pasangannya sehingga mereka bermain-main sendiri tanpa mau mengerjakan tugas.

Implementasi model pembelajaran The Power of Two pada mata pelajaran Akkuntansisangat tepat sekali, anak akan mudah menguasai dan memahami apa yang disampaikan oleh seorang guru baik ajaran yang berbentuk konsep-konsep atau praktik-praktik. Langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran The Power of Two ini adalah: 

  1. Ajukan satu atau dua pertanyaan atau masalah (terkait topik pembelajaran) yang membutuhkan perenungan (reflection) dan pemikiran.
  2. Mintalah siswa menjawab tertulis secara perorangan.
  3. Kelompokkan siswa secara berpasangan , boleh dengan teman sebangku atau berdasarkan  kemampuan mereka
  4. Mintalah mereka saling menjelaskan dan mendiskusikan jawaban baru.
  5. Siswa membandingkan jawaban hasil diskusi kecil dengan pasangan lain 
  6. Simpulkan agar seluruh siswa memperoleh kejelasan.

Tujuan pembelajaran The Power of Two adalah membangun mental siswa agar aktif dalam belajar, sehingga siswa benar-benar sangat butuh dengan pembelajaran Akuntansi. Guru memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mendiskusikan jawabannya dengan siswa lain. Akan tetapi dalam model ini siswa tidak diperbolehkan mendiskusikan jawabannya kepada teman- temannya secara keseluruhan yang ada didalam kelas tersebut, akan tetapi siswa tersebut mendiskusikan jawabannya secara berpasangan.

Model pembelajaran The Power of Two memungkinkan siswa memanfaatkan sebaik-baiknya waktu tunggu untuk mempertajam logika berpikir dari permasalahan atau pertanyaan yang diberikan guru. Model ini memiliki penekanan pada kemampuan berpikir individu, berdiskusi dengan pasangan, kemudian hasil diskusi di sharing kan kepada anggota kelasnya. Dengan menerapkan model pembelajaran ini, diharapkan kesenjangan kemampuan antar  siswa dapat dipangkas, sekaligus meningkatkan kualitas dan prestasi belajar siswa pada pelajaran Akuntansi.


SUMBER REFERENSI

  • M, Ibrahim dan M, Nur. 2000. Pengajaran berdasarkan masalah. Surabaya: UNESA-University Press. 
  • M, Siberman. 2006. Active Learning: 101 Setrategi Pembelajaran Aktif. (Terjemah Raisal Mutaqin. Bandung: Nusamedia. 
  • R.I, Arends. 2004. Learning to Teaach. Sixth Edition. New York: Mcgraw Hill. 
  • Wahid, Murni dkk.2010.  Ketrampilan dasar mengajar. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 
  • W.S, Winkel. 2004. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 


TINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MODEL JIGSAW

Oleh: SRI HARTATI, S.Pd.

(Guru Matematika SMK Negeri 3 Surakarta - Jawa Tengah)

Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik (experimentalism and social reconstructivism). Hal ini sesuai dengan tujuan kurikulum 2013 yaitu untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. 

Kondisi awal kegiatan pembelajaran dan hasil belajar siswa di kelas XI SMK Negeri 3 Surakarta belum memenuhi harapan. Guru masih berperan terlalu dominan selama pelaksanaan kegiatan pembelajran. Akibatnya siswa menjadi pasif, kurang bersungguh-sungguh bahkan tidak mengabaikan guru selama kegiatan pembelajaran. Dengan kegiatan pembelajaran yang seperti itu menyebabkan rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa. 

Berkaitan dengan hal tersebut, ada banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa baik dari siswa sendiri maupun dari guru. Kenyataan di lapangan pelajaran matematika berlangsung membosankan dan kurang menarik, sehinggga saat kegiatan belajar mengajar siswa  sebagian besar hanya duduk diam, tiduran, bahkan berbicara dengan temannya. Faktor penyebabnya  antara lain: 1) siswa terlanjur menganggap pelajaran matematika sebagai momok karena sulitnya, 2) siswa  kurang memiliki motivasi, dan 2) kurangnya kemampuan guru dalam menerapkan pembelajaran inovatif, guru masih menggunakan metode mengajar dan media pembelajaran yang bersifat konvensional. Siswa  hanya disuruh mendengarkan dan menulis tanpa diberi kesempatan  untuk berinteraksi/berdiskusi dengan  siswa  lain. Siswa  kurang diberi kesempatan untuk mendiskusikan dengan temannya tentang apa yang ingin diungkapkannya dalam memahami materi matematika. Akibatnya hasil belajar yang diperoleh siswa masih jauh dari yang diharapkan. Untuk mengatasi rendahnya motivasi belajar dan hasil belajar akan dilakukan pembelajaran Jigsaw. Dengan menggunakan model pembelajaran ini, siswa berdiskusi untuk mempelajari materi matematika sehingga menjadikan mereka menjadi senang, aktif dan kreatif.

Model pembelajaran Jigsaw merupakan sebuah teknik yang dipakai secara luas memiliki kesamaan dengan tehnik “pertukaran dari kelompok ke kelompok” (group to group exchange) dengan suatu perbedaaan penting: setiap siswa  mengajarkan sesuatu. Ini adalah alternatif menarik, ketika ada materi yang dipelajari dapat disingkat atau “dipotong” dan di saat tidak ada bagian yang harus diajarkan sebelum yang lain-lain. Setiap kali siswa  mempelajari sesuatu yang dikombinasi dengan materi yang telah dipelajari oleh siswa  lain, buatlah sebuah kumpulan pengetahuan yang bertalian atau keahlian. (Mel Siberman,  2007)

Model pembelajaran Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran yang terdiri dari  beberapa  anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi  tersebut kepada anggota kelompok yang lain. Metode ini serupa dengan STAD, dalam pelaksanaannya Jigsaw  juga dituntut pembagian siswa ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen. Dengan heterogen tersebut diharapkan masing-masing siswa dapat saling  melengkapi. Maksudnya, tidak bisa  dipastikan siswa tertentu bisa menguasai dengan benar materi yang menjadi tanggung jawab siswa tersebut, harus dipastikan dalam setiap kelompok diwakili setidaknya satu siswa yang masuk kategori siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Jika tugas yang dikerjakan cukup sulit, siswa bisa membentuk kelompok para ahli. Peserta berkumpul dengan siswa  lain yang mendapatkan bagian yang sama dari kelompok lain. Mereka bekerja sama memecahkan materi yang menjadi bagiannya. Kemudian, masing-masing siswa  kembali ke kelompoknya sendiri dan membagikan apa yang telah dipelajarinya kepada angggota kelompok lain. (Anita Lie, 2008).

Kunci dari model pembelajaran Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim ynag memberikan informasi yang diperlukan. Artinya, para siswa harus memiliki tanggung jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang diberikan. Menurut Anita Lie (2008) kelebihan model pembelajaran Jigsaw  ini mempunyai kelebihan-kelebihan sebagai berikut:

  1. Memacu siswa untuk berpikir kritis
  2. Memaksa siswa untuk membuat kata-kata yang tepat agar dapat menjelaskan kepada teman yang lain.
  3. Hal ini akan membantu siswa mengembangkan kemampuan sosialnya.
  4. Diskusi yang terjadi tidak didominasi oleh siswa-siswa  tertentu  tapi semua siswa dituntut menjadi aktif.
  5. Jigsaw dapat digunakan bersama strategi belajar yang lain
  6. Jigsaw mudah dilakukan

Senada dengan pendapat di atas, Wina Sanjaya (2009) menemukan bahwa para siswa yang bekerja sama menggunakan Jigsaw lebih mampu melihat perspektif orang lain dibandingkan dengan para siswa dalam kelas kontrol. Sehingga dengan demikian sangat penting untuk mengembangkan pembelajaran kooperatif sebagai contoh dengan model pembelajaran Jigsaw ini dalam menciptakan perilaku prososial yang semakin dibutuhkan di dalam masyarakat dimana kemampuan bergaul dengan  orang lain menjadi semakin krusial.

Strategi model pembelajaran Jigsaw dalam kegiatan pembelajaran matematika dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Bahan pelajaran yang akan diberikan dibagi menjadi menjadi beberapa bagian sesuai materi.
  2. Sebelum bahan pelajaran diberikan, guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari itu. Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skema siswa agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru. Dalam kegiatan ini, guru perlu menekankan bahwa memberikan tebakan yang benar bukanlah tujuannya. Yang lebih penting adalah kesiapan mereka dalam mengantisipasi bahan pelajaran yang akan diberikan hari itu.
  3. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok asal secara heterogen.
  4. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama, sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua. Siswa yang ketiga menerima bagian yang ketiga, dan seterusnya.
  5. Kemudian siswa disuruh membaca bagian mereka masing-masing dan berdiskusi pada kelompok ahli sesuai materi yang menjadi bagiannya.
  6. Setelah selesai berdiskusi di kelompok ahli, siswa kembali ke kelompok asal dan saling berbagi mengenai bagian yang dibaca/dikerjakan masing-masing. Dalam kegiatan ini, siswa bisa saling berinteraksi antara satu dengan yang lain di kelompok asalnya.
  7. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara kelompok atau dengan seluruh kelas.
  8. Guru mengadakan evaluasi individu untuk mengetahui capaian kompetensi yang dipahami siswa.

Hasil akhir yang diharapkan dengan penerapan model pembelajaran Jigsaw dalam kegiatan pembelajaran matematika adalah peningkatan hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar ini sejalan dengan peningkatan kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Model pembelajaran ini menjadikan siswa lebih komunikatif dan berani dalam mengemukakan ide maupun pendapatnya di dalam kelompok. Selain itu, pembentukan kelompok secara heterogen dapat melatih siswa bersikap saling menghormati dan toleransi terhadap keragaman misalnya perbedaan latar belakang siswa, agama, suku, budaya, dan sebagainya. Siswa akan tetap bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok dan tidak memandang adanya perbedaan.


SUMBER REFERENSI

  • Lie, Anita. 2008. Mempraktikkan Coopertive Learning di Ruang-Ruang Kelas.  Jakarta: Gramedia.
  • Sanjaya, Wina. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Kencana. 
  • Silberman,  Melvin. 2007. Active  Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
  • Suprijono, Agus. 2011. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Surabaya: Pustaka Pelajar. 


IMPLEMENTASI MODEL TBL PADA PELAJARAN BAHASA INDONESIA

Oleh: Marsiti Laily Qodariya, S.Pd.

(Guru Bahasa Indonesia SMA Batik2 Surakarta - Jawa Tengah)

Kegiatan pembelajaran pada kurikulum 2013 harus lebih menekankan pada proses daripada hasil. Dalam proses pembelajaran, pengajar harus mampu menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa menemukan, membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan siswa harus mampu membangun pengetahuan secara aktif dalam kegiatan belajar yaitu suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. 
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia  di SMA Batik 2 Surakarta adalah guru merasa kesulitan membangun pemahaman bila menggunakan model pembelajaran konvensional. Sementara guru masih sering menggunakan model pembelajaran ini, sehingga kegiatan pembelajaran peran guru masih sangat dominan. Sebagai akibatnya siswa akan merasa cepat bosan dan jenuh mengikuti kegiatan pembelajaran sampai selesai karena berlangsung monoton. Mereka merasa hanya dianggap obyek pembelajaran. Ada pula sebagian siswa bersikap apriori dan  bahkan menganggap pelajaran bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang gampang tetapi susah (terlihat mudah tetapi sukar untuk dipahami). Sebagai akibatnya tingkat pemahaman mereka juga rendah sehingga prestasi belajar yang diraih pun juga tidak maksimal.

Guru merasa kesulitan menemukan model pembelajaran yang tepat untuk membangkitkan dan meningkatkan minat siswa pada materi pelajaran bahasa Indonesia. Padahal materi yang ada pada pelajaran ini menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS) dari siswa untuk memahaminya. Hal tersebut merupakan indikator bahwa kualitas pembelajaran yang dilakukan selama ini perlu ditingkatkan. Prestasi belajar siswa pun tidak mencapai hasil yang maksimal terbukti masih ada beberapa anak yang nilainya kurang dari nilai KKM. Faktor lain yang turut mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah jumlah siswa dalam satu kelas dan kemampuan siswa yang berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya turut mempengaruhi keberhasilan mereka dalam pembelajaran. Salah satu cara yang cukup interaktif adalah memberdayakan model kerja kelompok. 

Cara ini cukup efektif untuk kelas dengan siswa yang berjumlah cukup besar, karena biasanya kelas dengan kondisi seperti ini sulit dijaga dinamikanya. Jika guru tidak memperhatikan kondisi siswa dengan seksama maka dapat terjadi bahwa kelas berlangsung secara monoton, membosankan, dan banyak siswa yang tidak dapat memahami inti materi yang ingin disampaikan karena keburu bosan dan mengantuk. Model pembelajaran yang dapat diterapkan guru bahasa Indonesia adalah model pembelajaran Team Based Learning.

Team Based Learning (TBL) adalah salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk menyampaikan materi pengajaran secara lebih efektif, khusunya pada kelas yang siswanya berjumlah banyak (kelas besar).Menurut Daryanto dan Mulyo R. (2012) Team Based Learning adalah salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk menyampaikan materi pengajaran secara lebih efektif, khususnya pada kelas yang siswanya berjumlah banyak (kelas besar). Kekuatan TBL terletak pada usaha membangun motivasi belajar mandiri dan iklim kerja kelompok sehingga siswa dapat mempelajari materi atau topik bahasan secara lebih efektif, menarik, tidak membosankan, dan dapat memahami mulai dari konsep hingga implementasinya. Sasaran ini dapat dicapai dengan menerapkan sejumlah langkah dan metode yang intinya adalah pengelolaan kelompok belajar, penugasan baik secara mandiri maupun berkelompok serta sistem penilaian yang membuat para  siswa dapat mengeksploitasi kekuatannya sebagai individu maupun sebagai anggota dari satu kelompok.

Pemberdayaan kerja kelompok dalam satu kelas dapat dilakukan dengan mengenalkan konsep yang disebut dengan TBL tersebut, yaitu model pembelajaran yang menekankan pada kerja kelompok. Untuk berpindah ke model ini maka ada tiga hal yang harus diubah. Pertama tujuan utama berubah. Jika semula  tujuan utamanya adalah pengenalan konsep-konsep inti pada para siswa, maka pada TBL tujuan  utamanya selain pengenalan juga termasuk menjamin bahwa siswa mampu menggunakan konsep tersebut. Kedua, peranan dan fungsi guru juga berubah. Jika semula guru menjadi seseorang yang menyebarkan informasi dan konsep, maka guru dituntut untuk merancang dan mengelola proses intruksional secara keseluruhan. Ketiga, peranan dan fungsi siswa juga  berubah. Semula hanya berupa penerima pasif informasi dan materi pelajaran, maka siswa dituntut untuk bertanggung jawab dalam menyerap konsep tersebut dan bekerja sama dengan siswa lain agar konsep tersebut dapat diterapkan.
Kelebihan model pembelajaran TBL tidak dapat dirasakan secara otomatis tetapi akan dirasakan jika guru dapat mengimplementasikan empat syarat dasar TBL yaitu: 
  1. Grup harus dibentuk dan dikelola dengan baik.
  2. Siswa harus dapat dikondisikan agar bertanggung jawab terhadap pekerjaan individu dan kelompoknya.
  3. Penugasan kelompok harus dapat membangun proses pembelajaran dan pembentukan kelompok.
  4. Siswa harus menerima umpan balik secepatnya dan secara rutin.
Manfaat dari penerapan model pembelajaran Team Based Learning dalam pembelajaran adalah memahami aplikasi materi pelajaran, mempelajari nilai kerjasama kelompok, mempelajari tentang dirinya sendiri, membangun dukungan sosial bagi siswa yang bermasalah, mengkondisikan pengembangan keahlian interpersonal dan kelompok, dan terakhir membangun dan menguatkan atensi pengajar terhadap peranannya.
Salah satu keuntungan TBL yang terbesar adalah pengalihan peranan guru sebagai seseorang yang bertanggung jawab tunggal untuk menguasai dan menyampaikan seluruh materi pelajaran, menjadi sebagai pengarah dan pengelola kelas. Untuk usaha penguasaan materi diambil alih oleh para siswa dan dijalankan dalam proses pengelolaan kelompoknya masing-masing. Jika guru ingin menyampaikan suatu materi pelajaran  dengan menggunakan pendekatan TBL, agar efektif guru harus merancang kegiatan pembelajaran tersebut dari awal hingga akhir. Implementasi model pembelajaran Team Based Learning pada kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. uru menyampaikan materi dengan menggunakan media pembelajaran yang ada.
  2. Siswa dibagai dalam beberapa kelompok secara heterogen baik jenis kelamin maupun kemampuannya.
  3. Siswa berdiskusi dengan teman dalam satu kelompok untuk membangun pemahaman tentang materi yang diajarkan guru.
  4. Siswa berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan memperhatikan contoh dan memperagakan sendiri.
  5. Siswa menyampaikan hasil diskusi kelompok ke depan kelas untuk ditanggapi siswa lainnya.
  6. Siswa bersama guru menyimpulkan materi yang diajarkan pada hari tersebut.
  7. Guru mengadakan evaluasi untuk dikerjakan siswa secara individu untuk mengetahui tingkat pemahaman mereka terhadap materi.
Setelah diterapkannya model pembelajaran Team Based Learning diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus prestasi belajar Bahasa Indonesia siswa. Siswa menjadi lebih mudah memahami materi yang disampaikan oleh guru, kreatif dan bersemangat ketika mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa menjadi mau bekerjasama dan berbagi informasi dalam kelompok dengan siswa yang lain.

SUMBER REFERENSI

  • Asmani, Jamal Ma’mur. (2013). 7 Tips Aplikasi PAIKEM. Jogyakarta: Diva Press.
  • Aunurrahman. (2012). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Penerbit Alfabeta.
  • Daryanto dan Mulyo R. 2012. Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Gava Media.
  • Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka Setia

BELAJAR MATEMATIKA JADI MENYENANGKAN DENGAN PENERAPAN MODEL RTE

Oleh: Abdul Muslim, S.Pd.

(Guru Matematika SMK Negeri 6 Surakarta Jawa Tengah)

Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan mendapat prioritas utama untuk menyelenggarakan proses kegiatan belajar mengajar. Tetapi pada kenyataannya dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, bukanlah merupakan suatu hal yang mudah. Potensi guru dan siswa mempunyai peranan yang sangat penting di sekolah. Sebagai pendidik dan pengajar guru dituntut untuk dapat menemukan suatu cara penyampaian materi kepada anak didik dengan efektif dan efisien, karena guru mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kualitas pengajaran.

Sampai saat ini, tampak bahwa pembelajaran yang dianut oleh guru didasarkan atas asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Oleh karena itu, para guru memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan ke dalam kepala siswa tanpa memperhatikan bahwa mereka saat memasuki kelas mempunyai bekal kemampuan pengetahuan dan minat yang tidak sama. Model pembelajaran yang dijalankan adalah pembelajaran satu arah dimana siswa hanya sebagai obyek pendidikan, mereka ke sekolah hanya melaksanakan prinsip 3D, yaitu Datang, Duduk, Diam sehingga keaktifan siswa sangat kurang saat proses belajar mengajar berlangsung.

Dalam matematika, suatu model pembelajaran yang sesuai untuk materi tertentu belum tentu sesuai jika diterapkan pada materi yang lainnya. Dalam memilih model mengajar harus disesuaikan dengan tujuan pengajaran, materi pengajaran dan bentuk pengajaran (kelompok atau individu). Pada dasarnya tidak ada model mengajar yang paling ampuh sebab setiap model mengajar yang digunakan pasti mempunyai kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu, dalam mengajar bisa digunakan berbagai model sesuai dengan materi yang diajarkan.

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran matematika di kelas XII di SMK Negeri 6 adalah adalah guru merasa kesulitan membangun pemahaman bila menggunakan model pembelajaran konvensional. Siswa akan merasa cepat bosan dan jenuh mengikuti kegiatan pembelajaran selesai, bahkan menganggap pelajaran matematika merupakan pelajaran yang tersulit untuk dipahami. Siswa cenderung pasif dan kurang kreatif serta siswa hanya mendengarkan penjelasan guru. Siswa hanya terfokus pada cara penyelesaian soal yang diberikan oleh guru tetapi tidak mencoba cara lain dalam menyelesaikan soal. Sebagai akibatnya tingkat pemahaman mereka juga rendah sehingga prestasi belajarnya pun tidak maksimal.

Guru merasa kesulitan menemukan model pembelajaran yang tepat untuk membangkitkan dan meningkatkan minat siswa terhadap materi tersebut. Hal tersebut merupakan indikator bahwa kualitas pembelajaran yang dilakukan selama ini masih kurang berkualitas. Prestasi belajar siswa pun tidak mencapai hasil yang maksimal terbukti masih ada beberapa anak yang belum memenuhi nilai KKM. Faktor lain yang turut mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah kemampuan siswa yang berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya turut mempengaruhi keberhasilan mereka dalam pembelajaran. Untuk meningkatkan meningkatkan prestasi belajar matematika, guru dapat menerapkan model pembelajaran dengan model Rotating Trio Exchange sebagai salah satu solusi alternatif.

Pembelajaran model Rotating Trio Exchange merupakan pembelajaran kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari tiga orang yang berpindah searah jarum jam. Isjoni (2010) mengungkapkan bahwa model cooperative learning tipe Rotating Trio Exchange adalah model pembelajaran dimana dalam satu kelompok terdiri dari 3 orang siswa, yang diberi nomor 0, 1, dan 2. Selanjutnya nomor 1 berpindah searah jarum jam dan nomor 2 sebaliknya berlawanan arah jarum jam sedangkan nomor 0 tetap di tempat. Setiap kelompok diberikan pertanyaan untuk didiskusikan. Setelah itu, kelompok dirotasikan kembali dan terjadi trio yang baru. Dan setiap trio baru tersebut diberikan pertanyaan baru untuk didiskusikan, dengan cara pertanyaan yang diberikan ditambahkan sedikit tingkat kesulitannya.

Senada dengan pendapat di atas, Silberman (2009) mengungkapkan bahwa model pembelajaran Rotating Trio Exchange merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif bagi siswa untuk berdiskusi tentang berbagai masalah pembelajaran dengan beberapa teman sekelasnya. Dengan adanya pertukaran tiga anak yang dirotasikan, akan berjalan dengan mudah jika dilengkapi dengan materi pelajaran yang mendukung. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Rotating Trio Exchange adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang menerapkan pembelajaran secara berkelompok dimana setiap kelompok terdiri atas tiga orang siswa yang akan di putar searah dan berlawanan dengan jarum jam sehingga akan membentuk kelompok dan anggota kelompok yang baru.

Pada pelaksanaannya di kelas model pembelajaran Rotating Trio Exchange memiliki berberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan model pembelajaran ini di antaranya adalah:

  1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pandangan dan pengalaman yang diperoleh siswa secara bekerja sama.
  2. Melatih siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan mengemukakan pendapat.
  3. Memiliki motivasi tinggi karena mendapat dorongan teman sekelompok.
  4. Dengan adanya pembaharuan anggota dalam setiap kelompok setelah diskusi selesai, siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir lebih baik.
  5. Siswa tidak merasa bosan karena dalam setiap diskusi mereka selalu dirotasikan sehingga menemukan teman diskusi yang selalu baru.

Kelemahan dari model pembelajaran Rotating Trio Exchange antara lain adalah:

  1. Dalam setiap pembelajaran yang menggunakan model cooperative learning tipe Rotating Trio Exchange, guru harus mempersiapkan pembelajaran dengan sungguh- sungguh.
  2. Saat diskusi berlangsung, terkadang didominasi oleh seseorang dalam setiap kelompok.
  3. Lebih baik diterapkan pada jumlah siswa berkelipatan tiga, namun tidak menutup kemungkinan diterapkan pada jumlah siswa yang tidak berkelipatan tiga.
  4. Memerlukan waktu yang banyak dalam pelaksanaannya, karena setiap kelompok harus dirotasikan sehingga selalu membentuk kelompok baru.

Berdasarkan kelebihan dan kelemahan model pembelajaran Rotating Trio Exchange di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap model pembelajaran memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dalam setiap pelaksanaannya, sehingga guru harus bisa lebih variatif untuk meminimalisir kekurangan tersebut agar pelaksanaaan pembelajaran dengan menggunakan model Rotating Trio Exchange dapat berjalan dengan menyenangkan dan siswa tidak merasa bosan dalam pembelajaran.

Selanjutnya langkah-langkah dalam pembelajaran dengan menggunakan model Rotating Trio Exchange adalah sebagai berikut:

  1. Penjelasan materi pembelajaran yang akan disampaikan oleh guru dan materi yang akan didiskusikan.
  2. Pembentukan kelompok oleh guru secara heterogen yang terdiri dari 3 orang siswa masing-masing diberi simbol 0, 1, dan 2.
  3. Penyampaian prosedur yang akan dilakukan yaitu Rotating Trio Exchange dengan cara:
  4. Setelah terbentuknya kelompok, guru memberikan bahan diskusi untuk dipecahkan trio tersebut.
  5. Setelah selesai mengerjakan permasalahan yang didiskusikan, kelompok menyajikan hasil diskusi di depan kelas.
  6. Selanjutnya berdasarkan waktu, siswa yang mempunyai simbol 1 berpindah searah jarum jam dan simbol nomor 2 berlawanan jarum jam, sedangkan nomor 0 tetap di tempat.
  7. Guru memberikan pertanyaan baru atau bahan diskusi baru untuk didiskusikan oleh trio baru tersebut.
  8. Penyajian hasil diskusi oleh kelompok.
  9. Setelah peputaran kelompok kembali terjadi yakni siswa dengan simbol 1, dan 2 kembali bertukar tempat.

Dengan penerapan model ini diharapkan akan terjadi suatu kegiatan pembelajaran yang lebih menarik, berkualitas, berkesan mendalam dan membuat siswa lebih aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran. Siswa dengan kelompoknya akan bersaing mendapatkan hasil yang lebih baik sehingga terjadi kompetisi yang sehat di antara mereka. Keberhasilan belajar rata-rata siswa pada mata pelajaan matematika diharapkan juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya pemahaman mereka pada materi pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran Rotating Trio Exchange. 


SUMBER REFERENSI

  • Huda, Miftahul. 2012. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 
  • Isjoni. 2010. Cooperative Learning: Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok. Bandung: Alfabeta.
  • Sani, Abdullah. 2013. Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Silberman. M. 2009. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.